Kamis, 14 Mei 2009

Masih Ada Pungli Diantara Kita


TEGAL (BP) - Bantuan langsung Tunai (BLT) selalu saja menuai masalah. Padahal petunjuk dan pelaksanaannya sangat jelas, baik dari pusat mau pun dari lembaga kelurahan, bahwa dana BLT jangan diotak-atik, ini hajat rakyat miskin untuk dinimati sesaat manisnya dana yang digulirkan pemerintah. Sekurang-kurangnya untuk meringankan beban derita hidup dihimpit sulitnya perekonomian yang tak berkesudahan.
Namun kenyataan di tengah masyarakat masih saja ada oknum Ketua RT dan RW bermain akal-akalan memungut dana BLT Rumah Tangga Sasaran (RTS), dengan dalih mengisi uang kas RW. Ironisnya hal ini dikenakan wajib, bukan sukarela bagi RTS. Tentu saja bagi penerima dana BLT saat berhadapan dengan Ketua RW begitu patuh dan terkesan ikhlas, tetapi kenyataan yang sebenarnya bertolakbelakang, mereka ngegrundel.
Adalah Tarmudi, Ketua RW 09, Kelurahan Mintaragen, dengan “gagah berani” memungut dana BLT kepada RTS sebesar Rp.5 ribu, dengan alasan untuk kas RW. Dana tersebut dikoordinir Ketua RT 08, Mugi. Tetapi ada juga yang langsung ke Ketua RW 09. Bedanya kalau ke Mugi, RTS Rt.08 harus rela dipotong Rp.20 ribu. Dengan rincian, Rp.5 ribu untuk kas RW, Rp.5 ribu untuk kelurahan, sisanya Rp.10 ribu bagi RT 08, itu pun sukarela, Mugi tidak memaksa. Tetapi rata-rata RTS RT.08 RW09 dipotong Rp.20 ribu. Seperti dituturkan salah satu warga RT.08 yang tak mau disebut namanya.
Padahal jauh hari sebelum pencairan dana BLT, telah beredar surat resmi dari kelurahan yang mengimbau larangan memotong dana BLT, tertanggal 20 April 2009. Untuk lebih jelasnya kami turunkan kutipannya; Sehubungan dengan adanya pembagian BLT warga Kelurahan Mintaragen yang pencairannya besok pada tanggal, 22 April 2009, maka kami selaku aparat pemerintah (Lurah Mintaragen) menghimbau kepada Ketua RT/RW se-Kelurahan Mintaragen, tidak diperkenankan memotong/ memungut dana tersebut dengan alasan/ dalih apa pun, karena semua ini demi untuk menjaga agar tidak mencuat berita-berita di koran dan juga tidak memberatkan warga penerima BLT tersebut.
Begitu gamblang bunyi imbauan tersebut, terkesan mulia, karena pembelaannya terhadap warga miskin penerima BLT dengan penekanan kalimat pada “tidak memberatkan penerima BLT”. Namun kenyataan yang terjadi baik Ketua RT maupun RW setempat tidak mengindahkan. Bahkan BP mendapat aduan dari masyarakat sangat variatif. Sebut saja Darno, tukang becak warga RT.07/09, menyesalkan tindakan Tarmudi yang menolak pengisian uang kas sebesar Rp.3 ribu. “Gawa bae wis, nggo tuku rokok, tapi sampeyan arane tak catet nang kene”. Ujar tarmudi dengan dialek tegalan. Jadi pungutan itu sifatnya wajib Rp.5 ribu untuk kas RW.
Ketika BP kerumahnya, Tarmudi tidak di tempat. Kemudian kami menghubungi lewat SMS, kami tanyakan seputar pungutan tersebut, tetapi tak ada jawaban. Juga saat dihubungi via telepon, namun lagi-lagi dimatikan. Tetapi bagi sebuah media tidak ada jawaban, itu pun menjadi sebuah berita tak kalah menariknya. Sangat disayangkan, sebagai tokoh masyarakat Tarmudi tidak merespon setiap pertanyaan yang diajukan. Kalau ia merasa benar tidak melakukan hal-hal yang disangkakan masyarakat, tentu akan memberikan klarifikasinya. Artinya Tarmudi sangat koorporatif.
Sejauh ini beberapa media lokal menurunkan pemberitaan seputar kasus BLT yang ditanggapi Wakil Walikota Tegal Habib Ali, yang dilansir koran harian, bahwa oknum Ketua RT/ RW akan ditindak dan dikenakan sanksi (Radar Tegal,23 April 2009).
Lurah Mintaragen, Madiyono, S.IP, saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, menyesalkan tidakan Ketua RW.09 Tarmudi, yang tidak mematuhi imbauan larangannya. (rd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar